Pertanyaan dari keluarga sangat bagus, saya ingin mengajukan beberapa pendapat sederhana.

Semakin kaya, semakin banyak pajak yang dibayar — sistem pajak di negara mana pun berlandaskan prinsip ini.
Orang kaya ingin membayar pajak lebih sedikit — siapa pun yang menghasilkan uang pasti berpikir demikian.

Keduanya adalah sebuah "permainan dinamis". (Guru Qiang menanamkan istilah ini dalam ingatan saya, Anda menang)

Saya mendorong keluarga untuk memikirkan pajak, tidak hanya dari sudut pandang "narasi besar", menganggapnya sebagai lelang satu arah negara kepada individu, meskipun pendidikan kita membiasakan kita melihatnya seperti itu. Namun perlu ditambah lapisan "mikro".

Siapa pun yang pernah menghasilkan uang di dunia kripto, merasa itu karena "kemampuan", "pengetahuan", serta "menanggung risiko yang tak sanggup ditanggung orang biasa". Negara dalam proses ini tidak memberikan bantuan — apalagi jika tidak menghambat.

Pola pikir ini bisa langsung disalin ke siapa pun yang menghasilkan uang, terutama orang kaya.

Orang kaya pun merasa negara tidak memberikan kemudahan nyata bagi bisnisnya, atau setidaknya harus menilai apakah kemudahan itu sebanding dengan beban pajak.

Tidak ada model kuantitatif yang jelas antara keduanya, tetapi setiap orang punya timbangan dalam hati.

Selain itu, beberapa industri jika mengikuti tarif pajak saat ini dan "membayar pajak penuh", maka tidak akan bisa mendapatkan keuntungan.

Industri-industri ini jika ingin bertahan, hanya bisa "membayar pajak lebih sedikit", bahkan "tidak membayar pajak", dan dalam kondisi "tidak membayar pajak" masih bergantung pada subsidi.

Negara memang memiliki kebijakan industri dan subsidi yang jelas untuk beberapa sektor. Namun lebih banyak industri tidak memiliki aturan transparan seperti itu, hanya bisa mengandalkan "kesepakatan diam-diam".

Situasi seperti ini sangat umum terjadi di banyak usaha kecil dan menengah serta industri non-teknologi tinggi.
Perusahaan-perusahaan inilah yang menyerap sebagian besar lapangan kerja di Tiongkok.

Oleh karena itu, ada yang mengatakan "perusahaan Tiongkok umumnya menghindari pajak", ini bukan hanya masalah moral, melainkan realitas struktural.
A-Share adalah contoh khas. Untung dari trading saham hanya membayar bea materai (mirip biaya kontrak), untung dari jual-beli murah-tinggi tidak dikenakan pajak.

Alasannya sederhana: fungsi utama pasar saham Tiongkok adalah untuk pendanaan perusahaan.
Jadi pasar saham butuh likuiditas, butuh investor ritel untuk bertransaksi.
Demi "greater good" ini, negara bisa menerima sebagian orang untung dari saham tanpa membayar pajak, agar menarik lebih banyak investor ritel masuk.

Sementara bursa saham AS juga berfungsi sebagai sarana pendanaan, tapi lebih sebagai pasar investasi jangka panjang, yang terus naik.
Baik orang Tiongkok di Tiongkok maupun orang Amerika di Amerika Serikat, untung dari saham AS tetap harus bayar pajak. (Sifat dua muka "Guru Gu Ailing" mungkin juga tidak berlaku di sini.)

Untung dari trading saham A-Share dan saham AS, pada dasarnya adalah perilaku yang sama.
Yang satu tidak kena pajak, yang satu kena pajak, bukan karena yang satu "mulia", yang satu "hina", tapi karena ada pertimbangan lain.
Jika logika ini diterapkan ke seluruh dunia bisnis:
Jika negara punya "pertimbangan lain", maka beberapa industri meski diwajibkan hukum, tetap mungkin terjadi "penghindaran pajak secara umum".
Bukan konspirasi, tapi pilihan kepentingan.

Banyak industri di Tiongkok secara keseluruhan merugi, meskipun umumnya menghindari pajak, sebagian besar perusahaan masih tidak bisa menghasilkan uang.
Hanya segelintir perusahaan dengan manajemen, rantai pasokan atau sumber daya pemerintah yang unggul bisa untung.
Dalam struktur seperti ini, pemerintah tidak mungkin hanya memungut pajak dari yang untung ——
Akan memukul kepercayaan seluruh industri, bahkan menyeret perusahaan terdepan sekalipun.
Jadi lebih baik semuanya "dilepas".
Pasar saham A-Share sama saja, mayoritas investor ritel rugi, hanya sedikit yang untung, tapi negara tidak hanya memungut pajak dari mereka.

Namun "memberi kelonggaran" ini biasanya hanya bersifat sementara.
Ketika suatu industri matang dan hanya tersisa 3–5 perusahaan besar yang punya kemampuan monopoli, mereka pun akan kehilangan ruang untuk menghindari pajak.

Maka, "orang kaya bayar pajak lebih banyak" adalah prinsip, tapi pelaksanaannya jauh lebih rumit dari yang dibayangkan.
Jika kita memperluas sudut pandang ke antarnegara:

Prancis, Inggris dalam beberapa tahun terakhir menaikkan pajak orang kaya, langsung menyebabkan eksodus besar-besaran, beserta hilangnya lapangan kerja, tabungan, dan konsumsi.
Orang kaya bukan sekadar "orang berduit", mereka adalah pengusaha, investor, manajer tingkat atas, sekaligus juga konsumen.
Pemotongan pajak (misal Trump) bertujuan menarik orang kaya agar berinvestasi lebih banyak di dalam negeri, menciptakan lapangan kerja.

Jadi, apakah orang kaya pasti harus bayar pajak lebih banyak?
Tergantung banyak faktor, dalam banyak situasi sebenarnya tidak demikian.
Dari sudut pandang kepentingan negara, membiarkan sebagian orang kaya membayar pajak lebih sedikit, bahkan tidak membayar pajak, bisa jadi sangat masuk akal.

Namun di Tiongkok, caranya bukanlah subsidi atau aturan transparan (hanya ada di sedikit industri), melainkan "kesepakatan tidak menegakkan hukum".

Bukan hanya pajak, aturan ketenagakerjaan dan lain-lain pun kadang dibiarkan diabaikan.
Misalnya sebuah perusahaan kendaraan listrik yang gajinya hanya sedikit di atas upah minimum, tapi jam kerjanya jauh melebihi ketentuan hukum.
(Kebanyakan perusahaan jam kerjanya melebihi aturan, jangan pura-pura tidak tahu.)
Ini juga hasil "kesepakatan tidak menegakkan hukum" yang disengaja negara.

Bahkan di bidang yang ada aturan jelas, tetap ada kasus pemerintah "ingkar janji".
Beberapa daerah menjanjikan insentif pajak untuk menarik investasi, tapi beberapa tahun kemudian otoritas pajak tetap menagih kekurangan pajak.

Jadi meskipun orang kaya tidak membayar pajak, mereka tetap hidup dalam ketakutan, karena sewaktu-waktu bisa saja dikejar kasus pajak.
Meskipun sudah menghasilkan uang, belum tentu bisa menikmatinya dengan leluasa.

Inilah juga mengapa di Tiongkok, begitu menghasilkan uang, reaksi naluriah orang kaya seringkali adalah imigrasi atau memindahkan aset.

Mengapa tidak bisa menetapkan aturan yang jelas, memberi janji yang tidak akan ditarik kembali?
Alasannya terlalu "deepstate", di sini hanya menguraikan realitas objektif.

Selain itu, Tiongkok punya satu situasi khusus:
Di Tiongkok adalah "orang yang menghasilkan uang membayar pajak", bukan "orang kaya membayar pajak".

Banyak kekayaan orang kaya tertanam di properti, inilah juga penyebab kekayaan orang lokal Beijing dan Shanghai di atas kertas meningkat pesat dalam 20 tahun terakhir — harga rumah naik 10 kali lipat.

Namun kenaikan nilai properti tidak dikenai pajak.
Menjual rumah sebagian besar bebas pajak (atau pajaknya sangat rendah, misal rumah mewah setelah 2 tahun hanya kena 1% dari nilai transaksi).
Jika seorang pekerja selama 10 tahun mendapat Rp10 juta, harus membayar pajak sekitar 30%;
Tapi jika seseorang dapat untung Rp10 juta dari kenaikan harga properti, hampir tidak perlu bayar pajak.
Jika Anda percaya "semakin kaya harus membayar pajak lebih banyak", maka harus diakui dulu:
Banyak pemilik properti di Tiongkok tidak menanggung beban pajak yang sebanding.

Faktanya, beban pajak tertinggi justru ditanggung kelas menengah, saya yakin mayoritas keluarga termasuk kategori ini.
Kerja kantoran dengan "gaji mati", dibayarkan bulanan, pajak dipotong otomatis;
Tidak menikmati kenaikan harga properti, bahkan malah asetnya tergerus karena penurunan harga rumah di kemudian hari.

Banyak dari generasi kita (kelahiran 80-an, 90-an) mengalami kenyataan seperti ini. Saya yakin inilah juga alasan keluarga masuk ke dunia kripto, ingin memperbaiki kehidupan.

Terakhir, kembali ke pertanyaan keluarga:
"Semakin kaya, semakin banyak pajak yang dibayar" apakah salah?

Secara prinsip benar.
Tapi cara pelaksanaan di dunia nyata jauh sekali dari itu.