2025 adalah tahun tokenisasi | Opini

Setelah menulis tentang regulasi dan perpajakan aset digital sejak 2017, saya tidak pernah menyangka akan menulis artikel ini selama hidup saya, terutama bersama editor saya, Max Yakubowski, yang masih berada di sisi saya. Jadi, inilah dia… Tahun 2025 menjadi tahun terobosan bagi tokenisasi sistem keuangan AS dan aset digital secara umum.

Ringkasan

• Undang-Undang GENIUS AS mendorong stablecoin yang diatur dan didukung penuh; perusahaan besar AS dan bank global di Eropa, Jepang, dan Asia mempercepat penerbitan, sementara negara-negara dari India hingga UEA mendorong model stablecoin berdaulat atau yang diatur.
• Standar AML (FATF), aturan BSA/FinCEN AS, pelaporan pajak global CARF (2027–28), dan aturan pengungkapan broker baru AS memperluas pengawasan. Namun, implementasi lintas negara yang tidak merata dan rezim pajak digital sepihak menciptakan inkonsistensi regulasi dan perpajakan.
• Kebutuhan AML, pajak, dan kebijakan moneter yang berbeda-beda menghambat terwujudnya sistem pembayaran digital global terpadu; negara-negara enggan menyerahkan kedaulatan keuangan meski tokenisasi terus maju langkah demi langkah melalui kerangka nasional serta inisiatif bilateral atau regional.

Undang-Undang GENIUS federal Amerika Serikat menciptakan kerangka regulasi untuk stablecoin, mengharuskan cadangan 100% didukung aset likuid dan pengungkapan cadangan secara publik setiap bulan. Legislasi ini mendorong pertumbuhan, dengan satu survei menunjukkan 41% organisasi pengguna stablecoin melaporkan penghematan biaya sebesar 10% atau lebih, terutama dalam pembayaran lintas negara [percaya atau tidak, William Quigley, salah satu pendiri Tether (USDT), stablecoin pertama yang diterbitkan pada 2013?].

Perusahaan keuangan besar AS seperti perusahaan keluarga Presiden Trump, World Liberty Financial, meluncurkan stablecoin bernama USD1 yang dipatok ke dolar AS dan didukung oleh obligasi negara AS, mengikuti PayPal, yang diketahui sebagai perusahaan keuangan besar AS pertama yang meluncurkan stablecoin, PayPal USD (PYUSD), yang tersedia untuk khalayak lebih luas.

Beberapa bank global besar mengumumkan rencana untuk mengeksplorasi atau menerbitkan stablecoin, termasuk kelompok sepuluh bank yang terdiri dari Bank of America, Deutsche Bank, Goldman Sachs, dan Citi. Ada juga kelompok terpisah sembilan bank Eropa, termasuk ING, Barclays, dan Santander, yang mengikuti jejak tersebut. Tiga bank terbesar Jepang, MUFG, Sumitomo Mitsui Financial Group, dan Mizuho, juga berencana menerbitkan stablecoin secara bersama-sama.

Di Hong Kong, arsitek teknis BSN, Red Date Technology, telah mengeksplorasi cara mendukung stablecoin dan mata uang digital bank sentral dalam ekosistemnya untuk tujuan pembayaran dan interoperabilitas. Rusia terkait dengan stablecoin A7A5, mata uang kripto yang dipatok rubel dan dirancang untuk membantu menghindari sanksi. India sedang mempersiapkan peluncuran stablecoin yang diatur dan didukung negara bernama Asset Reserve Certificate, dengan kemungkinan peluncuran pada kuartal 1 2026. UEA dan Arab Saudi secara aktif mengembangkan stablecoin bersama bernama ABER dan telah menerbitkan stablecoin yang diatur sebagai bagian dari strategi modernisasi keuangan nasional dan ekonomi digital mereka.

Secara bersamaan, Senat AS sedang mempertimbangkan RUU yang akan menetapkan kerangka kerja bagi perusahaan swasta untuk menerbitkan stablecoin, seperti Walmart, Amazon, dan Cloudflare, yang dikabarkan tengah mengeksplorasi stablecoin korporat sebagai opsi pembayaran pelanggan. Google sedang berdiskusi untuk mengintegrasikan stablecoin ke dalam sistem pembayarannya, menandakan potensi keterlibatan di masa depan dalam pasar stablecoin. Pembicaraan awal telah dilakukan dengan perusahaan kripto, dan Google Cloud telah menerima pembayaran dalam bentuk aset digital dan stablecoin, menetapkan preseden untuk penagihan berbasis cloud dalam kripto. Meta, setelah menghentikan proyek stablecoin Libra/Diem-nya, sedang mempertimbangkan integrasi stablecoin pihak ketiga seperti USDC (USDC) dan Tether untuk mengurangi biaya pembayaran kreator di platform seperti Instagram, Facebook, dan WhatsApp.

Di Tiongkok, bekerja sama dengan JP Morgan, divisi e-commerce lintas negara Alibaba menciptakan sistem yang menggunakan “deposit token”, yang merupakan alternatif patuh terhadap stablecoin tradisional di Tiongkok. Perusahaan teknologi India tengah mengembangkan stablecoin bernama Asset Reserve Certificate. Di Jepang, divisi perbankan Sony, Sony Bank, akan meluncurkan stablecoin. Entitas berbasis Jerman bernama AllUnity, usaha patungan DWS (manajer aset Deutsche Bank), Flow Traders, dan Galaxy, telah menerima persetujuan regulator dan mulai menerbitkan stablecoin denominasi euro. Deutsche Telekom terlibat dengan stablecoin melalui kemitraan strategis dan investasi pada perusahaan teknologi blockchain seperti Theta Network dan Celo.

Namun, Dewan Stabilitas Keuangan mencatat bahwa implementasi regulasi lintas yurisdiksi masih tidak merata dan tidak konsisten, dengan celah signifikan dalam regulasi pengaturan stablecoin global. Hal yang sama juga berlaku pada penanganan proyek perpajakan digital oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang mengembangkan solusi dua pilar untuk mengatasi tantangan pajak dari digitalisasi ekonomi, yang menyebabkan banyak negara secara terpisah mengejar pajak layanan digital sepihak, menciptakan potensi sistem yang terfragmentasi dan sengketa dagang.

Sistem regulasi dan pajak global untuk struktur keuangan yang ditokenisasi secara global

Sistem pembayaran digital yang diterapkan secara global menghadapi hambatan besar dan umumnya dianggap tidak layak tanpa tingkat kesepakatan regulasi dan pajak internasional yang tinggi. Alasan utamanya meliputi:

Hukum anti pencucian uang:

Setiap negara memiliki kedaulatan atas sistem keuangan dan mata uangnya. Implementasi global aturan AML untuk aset digital dipimpin oleh Financial Action Task Force, yang memperluas standar AML/CFT untuk memasukkan Penyedia Layanan Aset Virtual pada 2019, mewajibkan mereka menerapkan langkah-langkah seperti uji tuntas pelanggan, serta “Travel Rule”, yang mewajibkan pengumpulan dan berbagi informasi pengirim dan penerima untuk transaksi. Meski banyak negara telah mengadopsi aturan ini, implementasinya masih berlangsung dan berbeda-beda di tiap yurisdiksi, dengan sebagian sudah memiliki kerangka kerja yang kuat dan lainnya masih dalam tahap pengembangan.

AS telah mengimplementasikan aturan AML untuk aset digital, terutama dengan mewajibkan perusahaan tertentu untuk mendaftar ke FinCEN dan mengikuti regulasi Bank Secrecy Act yang ada. Namun, beberapa legislasi yang diusulkan masih dalam proses. Perantara aset digital seperti bursa dan penyedia dompet harus memenuhi aturan Know Your Customer dan mematuhi “Travel Rule”, yang mewajibkan pengumpulan dan transmisi informasi identitas untuk transaksi di atas ambang batas tertentu.

Perpajakan dan pelaporan:

Hukum pajak sangat bervariasi. Sistem global memerlukan metode universal untuk melacak, melaporkan, dan menyetor pajak penjualan, PPN, pajak penghasilan atas transaksi, serta capital gain lintas negara, yang saat ini masih mengandalkan aturan spesifik tiap negara dan jaringan perjanjian pajak global.

Inisiatif pajak aset digital OECD terutama adalah pengembangan Crypto-Asset Reporting Framework, atau CARF, sebuah standar global baru untuk meningkatkan transparansi dan kepatuhan pajak terkait transaksi aset kripto. CARF sedang diimplementasikan secara luas, dengan lebih dari 60 negara, termasuk sebagian besar ekonomi G7 dan G20, telah berkomitmen. Gelombang pertama negara akan mulai bertukar data pada 2027, diikuti gelombang kedua pada 2028. Kerangka ini merupakan inisiatif global yang dikembangkan OECD untuk standarisasi pelaporan pajak transaksi aset kripto, mewajibkan penyedia layanan aset kripto mengumpulkan dan melaporkan informasi pengguna, seperti domisili pajak dan nomor identitas, ke otoritas pajak domestik untuk pertukaran lintas negara. Tujuannya, agar otoritas pajak memiliki data yang diperlukan untuk memantau pendapatan aset kripto dan memastikan pajak dibayar dengan tepat.

Tahun ini, di AS, aturan pengungkapan pajak Broker Terpusat mewajibkan broker terpusat melaporkan transaksi pelanggan ke IRS, dengan aturan baru untuk aset digital efektif tahun 2025. Untuk penjualan pada 2025, broker harus mengisi Formulir 1099-DA dengan jumlah hasil kotor. Untuk transaksi mulai 2026, broker juga harus melaporkan basis teradjust pelanggan dan, dalam kasus tertentu, bisa diwajibkan menerapkan backup withholding.

Sementara IRS telah memfinalisasi regulasi yang mengharuskan platform DeFi melaporkan transaksi aset digital mulai 2027, aturan tersebut dibatalkan oleh Kongres pada April 2025. Oleh karena itu, broker DeFi saat ini tidak tunduk pada persyaratan pengungkapan pajak spesifik tersebut, meski awalnya diharapkan melaporkan hasil kotor pada Formulir 1099-DA, beserta keringanan penalti transisi untuk tahun 2027.

Namun, kewajiban pajak mendasar bagi wajib pajak individu AS yang melaporkan pendapatan dan keuntungan aset digital secara global tetap berjalan. Beban pencatatan dan pelaporan yang akurat berada pada wajib pajak individu AS. Wajib pajak harus melaporkan setiap peristiwa/transaksi kena pajak yang melibatkan aset digital yang menghasilkan penjualan atau pertukaran (misal, perdagangan kripto-ke-kripto, menjual kripto untuk mata uang fiat, menggunakan kripto untuk membayar barang/jasa) ke IRS. Dan melacak detail seperti tanggal perolehan, basis biaya (harga beli awal), tanggal pelepasan, dan nilai pasar wajar pada saat setiap transaksi untuk menghitung capital gain atau loss.

Jika wajib pajak AS memiliki aset digital di institusi keuangan asing: FATCA mewajibkan wajib pajak AS melaporkan aset keuangan asing tertentu pada Formulir 8938 jika nilainya melebihi $50.000, sementara FBAR mewajibkan wajib pajak AS melaporkan nilai agregat semua akun keuangan asing yang melebihi total $10.000 kapan saja selama tahun berjalan ke Financial Crimes Enforcement Network (Formulir 114)

Kebijakan moneter dan stabilitas:

Sistem yang ada saat ini (seperti SWIFT, jaringan kartu kredit, dan beberapa mata uang kripto) memfasilitasi pembayaran internasional dengan beroperasi dalam kerangka regulasi nasional yang ada dan mengandalkan sistem perbankan perantara, bukan sebagai kerangka global tunggal yang disepakati secara universal.

Sistem regulasi universal untuk aset digital dapat mengganggu kemampuan bank sentral masing-masing negara untuk mengelola kebijakan moneter nasional, mengendalikan inflasi, dan menjaga stabilitas ekonomi. Oleh karena itu, keinginan menerapkan aturan yang kompatibel secara global untuk aset digital terhambat oleh negara-negara yang enggan menyerahkan kendali atas infrastruktur keuangan mereka kepada entitas eksternal atau supranasional.

Mencapai konsensus politik yang diperlukan untuk proyek sebesar ini adalah tantangan besar. Namun, perlahan tapi pasti, pasar keuangan global sedang ditokenisasi, dan kerangka regulasi serta perpajakan berkembang seiring untuk mengakomodasi hal ini satu langkah pada satu waktu.