Pada saat perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang pesat, masa depan Metaverse sepertinya menghadapi ancaman yang nyata.
Menulis oleh: Alinda Gupta
Diterjemahkan oleh: oneflumen, Centreless
Kehadiran Metaverse telah membuat banyak hal yang jauh melampaui imajinasi kita menjadi kenyataan, membentuk konsep kerja, kesehatan mental, dan pemasaran yang berpengaruh di masa depan. Namun, di tengah kemajuan yang pesat dari kecerdasan buatan (AI), masa depan Metaverse nampaknya berada dalam ancaman yang serius.
Ketika Facebook mengubah namanya menjadi 'Meta' untuk mencerminkan arah dan ambisi baru, mereka menghabiskan miliaran dolar untuk mencoba menjadi sinonim dari realitas tambahan (AR) dan realitas virtual (VR). Namun setelah mengalami kerugian sebesar 26 miliar dolar dari bisnis baru ini, 'Meta' memutuskan untuk beralih fokus ke bidang kecerdasan buatan (AI). Ini tidak mengherankan, karena kesuksesan ChatGPT, robot obrolan OpenAI dalam beberapa bulan terakhir telah menginspirasi banyak perusahaan lain untuk menirunya dan memperluas bisnis mereka dengan memanfaatkan keunggulan teknologi AI generatif.
Meta, perusahaan induk Facebook, akan membentuk tim produk baru yang fokus pada kecerdasan buatan generatif, dan mengumpulkan berbagai tim perusahaan untuk menciptakan alat dan pengalaman inovatif, serta mengintegrasikan teknologi ini ke dalam semua produk Meta. Tujuan jangka panjangnya adalah mengembangkan peran AI untuk 'membantu pengguna dalam berbagai cara.' Ini adalah apa yang dikatakan Mark Zuckerberg, pendiri dan CEO Meta, dalam posting Facebook pada 28 Februari.
Tapi apa arti bagi seluruh Metaverse?
Bagaimana Metaverse kehilangan momentum?
Ketika berbicara tentang Metaverse, tidak bisa dilewatkan tanah virtual. Bisa dikatakan bahwa di awal perkembangan Metaverse, tanah virtual dapat dianggap sebagai semacam sinonim dari Metaverse.
Di Metaverse, properti virtual mendominasi, dengan harga Ethereum secara langsung memengaruhi nilai tanah virtual. Namun, fluktuasi harga Ethereum telah membuat banyak pembeli dan penjual dalam kesulitan. Menurut data dari WeMeta, ini telah menyebabkan penurunan harga jual rata-rata tanah virtual secara signifikan, dari lebih dari 11000 dolar AS turun drastis menjadi kurang dari 2000 dolar AS.
Selain itu, pada tahun 2022, penjualan lahan virtual proyek Metaverse berbasis Ethereum (seperti Sandbox dan Decentraland) mengalami penurunan yang signifikan, dan valuasi serta indikator kunci lainnya juga mengalami penurunan yang signifikan.
Pada bulan Februari 2022, harga rata-rata tanah yang dijual di Decentraland mencapai titik tertinggi sejarah sebesar 37200 dolar. Namun, pada 1 Agustus, nilainya turun menjadi sekitar 5100 dolar. Demikian pula, harga rata-rata yang dijual di Sandbox turun drastis dari sekitar 35500 dolar pada bulan Januari menjadi sekitar 2800 dolar pada bulan Agustus.
Volatilitas harga mata uang kripto terutama harga Ethereum telah memperkenalkan tingkat ketidakpastian baru ke pasar, membuat investor merasa tidak yakin tentang masa depan aset kripto yang mereka pegang. Selain itu, infrastruktur, tata kelola, dan mekanisme kerjasama Metaverse saat ini kurang memadai. Inilah mengapa beberapa orang berpikir bahwa, dalam kondisi saat ini, Metaverse hanyalah alat pemasaran.
Potensi Kecerdasan Buatan
Dalam tiga tahun terakhir, solusi AI generatif telah menarik lebih dari $1,7 miliar investasi risiko, dengan penelitian obat berbantu AI dan pengkodean perangkat lunak AI menjadi dua area yang paling banyak didanai.
Dengan perkembangan cepat di bidang kecerdasan buatan, pengaruhnya sedang dirasakan di berbagai industri, termasuk pemasaran dan media. Perusahaan riset dan konsultasi terkemuka, Gartner, memperkirakan penggunaan kecerdasan buatan generatif di bidang ini akan meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun ke depan.
Pada tahun 2025, informasi pemasaran yang dikirim oleh organisasi besar diperkirakan akan secara otomatis dihasilkan oleh kecerdasan buatan, dan proporsi ini akan meningkat dari kurang dari 2% pada tahun 2022 menjadi lebih dari 30%. Dampak yang dibawa oleh kecerdasan buatan generatif tidak akan berhenti di sini. Menurut perkiraan perusahaan Gartner, sekitar tahun 2030 mungkin akan dirilis film blockbuster yang sebagian besar kontennya, baik teks maupun video, dihasilkan oleh kecerdasan buatan sebanyak 90%.
Meskipun kecerdasan buatan generatif memiliki potensi besar, saat ini masih ada masalah pembatasan akses. Misalnya, mekanisme ChatGPT tidak open source, yang berarti tidak dapat digunakan secara publik. Pembatasan ini membuat perusahaan lain sulit untuk meniru teknologi tersebut. Namun Facebook bertujuan untuk meluncurkan model AI yang lebih kecil, dapat digunakan oleh perusahaan, dan dioptimalkan, yang akan membantu membuat AI generatif lebih tersedia dan mudah diakses.
Kematian Metaverse: Trend atau Fakta?
Meskipun beberapa laporan menyatakan ini adalah akhir dari Metaverse, namun beberapa orang berpendapat bahwa kita tidak boleh mengaitkan kembalinya Meta Corporation dengan perkembangan Metaverse secara keseluruhan. Sebagai contoh, ilmuwan komputer Roy Amara mengemukakan Hukum Amara, yang menunjukkan bahwa manusia sering salah dalam menilai waktu dan potensi terobosan teknologi, cenderung overestimate dampak jangka pendeknya dan underestimate potensinya dalam jangka panjang. Tren ini juga terlihat dalam sikap skeptisisme dan hype berlebihan terhadap teknologi baru seperti mobil otonom, realitas virtual (VR), dan realitas tambahan (AR). Bahkan internet pernah dianggap sebagai sebuah tren.
Selain itu, AI - khususnya AI generatif - bahkan mungkin memiliki potensi untuk mendorong perkembangan Metaverse dengan menciptakan lingkungan dan karakter yang lebih persuasif.
Yang lebih penting, beberapa orang dengan tegas menyangkal bahwa Metaverse akan mati atau mengurangi tingkat popularitasnya. Namun, dengan banyak perusahaan mengadopsi teknologi Metaverse, bidang ini akan berkembang pesat. Untuk mencapai hal ini, perlu dilakukan beberapa perubahan struktural. Misalnya, perangkat VR perlu lebih terjangkau, dan sistem virtual perlu menunjukkan kinerja privasi yang lebih baik.
Hampir setiap penemuan baru pernah menjadi mimpi yang gila - sering kali mimpi yang menakutkan. Namun, seiring berjalannya waktu, teknologi-teknologi baru ini menjadi begitu meresap dalam kehidupan sehari-hari kita hingga kita tidak bisa membayangkan hari-hari tanpanya. Mungkin itulah nasib Metaverse. Jika bukan, maka penemuan teknologi imersif lainnya akan menggantikannya, dan meninggalkan kita untuk mendebat apakah Metaverse berada di fajar atau sedang merosot.
Konten ini hanya untuk referensi, bukan ajakan atau tawaran. Tidak ada nasihat investasi, pajak, atau hukum yang diberikan. Lihat Penafian untuk pengungkapan risiko lebih lanjut.
Apakah Metaverse sedang mengalami kemerosotan karena kebangkitan AI?
Pada saat perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang pesat, masa depan Metaverse sepertinya menghadapi ancaman yang nyata.
Menulis oleh: Alinda Gupta
Diterjemahkan oleh: oneflumen, Centreless
Kehadiran Metaverse telah membuat banyak hal yang jauh melampaui imajinasi kita menjadi kenyataan, membentuk konsep kerja, kesehatan mental, dan pemasaran yang berpengaruh di masa depan. Namun, di tengah kemajuan yang pesat dari kecerdasan buatan (AI), masa depan Metaverse nampaknya berada dalam ancaman yang serius.
Ketika Facebook mengubah namanya menjadi 'Meta' untuk mencerminkan arah dan ambisi baru, mereka menghabiskan miliaran dolar untuk mencoba menjadi sinonim dari realitas tambahan (AR) dan realitas virtual (VR). Namun setelah mengalami kerugian sebesar 26 miliar dolar dari bisnis baru ini, 'Meta' memutuskan untuk beralih fokus ke bidang kecerdasan buatan (AI). Ini tidak mengherankan, karena kesuksesan ChatGPT, robot obrolan OpenAI dalam beberapa bulan terakhir telah menginspirasi banyak perusahaan lain untuk menirunya dan memperluas bisnis mereka dengan memanfaatkan keunggulan teknologi AI generatif.
Meta, perusahaan induk Facebook, akan membentuk tim produk baru yang fokus pada kecerdasan buatan generatif, dan mengumpulkan berbagai tim perusahaan untuk menciptakan alat dan pengalaman inovatif, serta mengintegrasikan teknologi ini ke dalam semua produk Meta. Tujuan jangka panjangnya adalah mengembangkan peran AI untuk 'membantu pengguna dalam berbagai cara.' Ini adalah apa yang dikatakan Mark Zuckerberg, pendiri dan CEO Meta, dalam posting Facebook pada 28 Februari.
Tapi apa arti bagi seluruh Metaverse?
Bagaimana Metaverse kehilangan momentum?
Ketika berbicara tentang Metaverse, tidak bisa dilewatkan tanah virtual. Bisa dikatakan bahwa di awal perkembangan Metaverse, tanah virtual dapat dianggap sebagai semacam sinonim dari Metaverse.
Di Metaverse, properti virtual mendominasi, dengan harga Ethereum secara langsung memengaruhi nilai tanah virtual. Namun, fluktuasi harga Ethereum telah membuat banyak pembeli dan penjual dalam kesulitan. Menurut data dari WeMeta, ini telah menyebabkan penurunan harga jual rata-rata tanah virtual secara signifikan, dari lebih dari 11000 dolar AS turun drastis menjadi kurang dari 2000 dolar AS.
Selain itu, pada tahun 2022, penjualan lahan virtual proyek Metaverse berbasis Ethereum (seperti Sandbox dan Decentraland) mengalami penurunan yang signifikan, dan valuasi serta indikator kunci lainnya juga mengalami penurunan yang signifikan.
Pada bulan Februari 2022, harga rata-rata tanah yang dijual di Decentraland mencapai titik tertinggi sejarah sebesar 37200 dolar. Namun, pada 1 Agustus, nilainya turun menjadi sekitar 5100 dolar. Demikian pula, harga rata-rata yang dijual di Sandbox turun drastis dari sekitar 35500 dolar pada bulan Januari menjadi sekitar 2800 dolar pada bulan Agustus.
Volatilitas harga mata uang kripto terutama harga Ethereum telah memperkenalkan tingkat ketidakpastian baru ke pasar, membuat investor merasa tidak yakin tentang masa depan aset kripto yang mereka pegang. Selain itu, infrastruktur, tata kelola, dan mekanisme kerjasama Metaverse saat ini kurang memadai. Inilah mengapa beberapa orang berpikir bahwa, dalam kondisi saat ini, Metaverse hanyalah alat pemasaran.
Potensi Kecerdasan Buatan
Dalam tiga tahun terakhir, solusi AI generatif telah menarik lebih dari $1,7 miliar investasi risiko, dengan penelitian obat berbantu AI dan pengkodean perangkat lunak AI menjadi dua area yang paling banyak didanai.
Dengan perkembangan cepat di bidang kecerdasan buatan, pengaruhnya sedang dirasakan di berbagai industri, termasuk pemasaran dan media. Perusahaan riset dan konsultasi terkemuka, Gartner, memperkirakan penggunaan kecerdasan buatan generatif di bidang ini akan meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun ke depan.
Pada tahun 2025, informasi pemasaran yang dikirim oleh organisasi besar diperkirakan akan secara otomatis dihasilkan oleh kecerdasan buatan, dan proporsi ini akan meningkat dari kurang dari 2% pada tahun 2022 menjadi lebih dari 30%. Dampak yang dibawa oleh kecerdasan buatan generatif tidak akan berhenti di sini. Menurut perkiraan perusahaan Gartner, sekitar tahun 2030 mungkin akan dirilis film blockbuster yang sebagian besar kontennya, baik teks maupun video, dihasilkan oleh kecerdasan buatan sebanyak 90%.
Meskipun kecerdasan buatan generatif memiliki potensi besar, saat ini masih ada masalah pembatasan akses. Misalnya, mekanisme ChatGPT tidak open source, yang berarti tidak dapat digunakan secara publik. Pembatasan ini membuat perusahaan lain sulit untuk meniru teknologi tersebut. Namun Facebook bertujuan untuk meluncurkan model AI yang lebih kecil, dapat digunakan oleh perusahaan, dan dioptimalkan, yang akan membantu membuat AI generatif lebih tersedia dan mudah diakses.
Kematian Metaverse: Trend atau Fakta?
Meskipun beberapa laporan menyatakan ini adalah akhir dari Metaverse, namun beberapa orang berpendapat bahwa kita tidak boleh mengaitkan kembalinya Meta Corporation dengan perkembangan Metaverse secara keseluruhan. Sebagai contoh, ilmuwan komputer Roy Amara mengemukakan Hukum Amara, yang menunjukkan bahwa manusia sering salah dalam menilai waktu dan potensi terobosan teknologi, cenderung overestimate dampak jangka pendeknya dan underestimate potensinya dalam jangka panjang. Tren ini juga terlihat dalam sikap skeptisisme dan hype berlebihan terhadap teknologi baru seperti mobil otonom, realitas virtual (VR), dan realitas tambahan (AR). Bahkan internet pernah dianggap sebagai sebuah tren.
Selain itu, AI - khususnya AI generatif - bahkan mungkin memiliki potensi untuk mendorong perkembangan Metaverse dengan menciptakan lingkungan dan karakter yang lebih persuasif.
Yang lebih penting, beberapa orang dengan tegas menyangkal bahwa Metaverse akan mati atau mengurangi tingkat popularitasnya. Namun, dengan banyak perusahaan mengadopsi teknologi Metaverse, bidang ini akan berkembang pesat. Untuk mencapai hal ini, perlu dilakukan beberapa perubahan struktural. Misalnya, perangkat VR perlu lebih terjangkau, dan sistem virtual perlu menunjukkan kinerja privasi yang lebih baik.
Hampir setiap penemuan baru pernah menjadi mimpi yang gila - sering kali mimpi yang menakutkan. Namun, seiring berjalannya waktu, teknologi-teknologi baru ini menjadi begitu meresap dalam kehidupan sehari-hari kita hingga kita tidak bisa membayangkan hari-hari tanpanya. Mungkin itulah nasib Metaverse. Jika bukan, maka penemuan teknologi imersif lainnya akan menggantikannya, dan meninggalkan kita untuk mendebat apakah Metaverse berada di fajar atau sedang merosot.